Tentang Muhammadiyah dan kisah hidup penulis

                                              Ueberwechseln

                             [ a.n berpindah ] dibuat oleh Shafira

 

Banyak teka-teki yang mencuat ketika saya memilih melanjutkan studi di Universitas Muhammadiyah Malang. Memang setiap isi kepala manusia itu berbeda-beda, namun kali ini mereka bertanya-tanya kepada saya dengan isi kepala yang sama. “Mengapa memilih Muhammadiyah untuk pijakan memindai ilmu ? Bukankah banyak Universitas yang tidak berlabel Islami ? Apalagi harokahnya jelas-jelas Muhammadiyah ?”.

 

 

Hidup dan besar dikeluarga yang memiliki paham Islami berbeda-beda. Keluarga besar terbagi menjadi tiga kubu. Kubu pertama adalah kubu dengan pemahaman “si bendera hijau”. Kubu kedua adalah kubu pengabdi “Sang Surya” dan terakhir kubu ketiga yang biasa dikenal sebagai kubu “domba-domba tersesat” atau kubu pemerintah. Dan saya adalah kubu ketiga itu bersama adik dan sepupu. Ditambah lingkungan perkotaaan yang kita ketahui setiap individu memiliki pemahaman agama yang sangat bervariasi. 17 tahun tumbuh di Kota Kembang Tanah Pasundan, dimana kita ketahui bahwa Jawa Barat digadang-gadang menjadi markas “si Partai Bulan padi warna kuning” menjadikan saya memiliki harokah agama yang paling tidak konsisten sepertinya.

 

Ada sebuah kisah yang saya ingat hingga kini. Tepat 1 Syawal 1432 tahun 2011. Saat itu terdapat sebuah polemik yang cukup menjadi komedi di hidup saya. Keluarga besar berdebat terkait Sholat Ied Fitr. Keluarga Ibu memilih solat lebih awal yaitu di tanggal 30 Agustus 2011, sedangkan keluarga Ayah memilih solat dihari selanjutnya yaitu di tanggal 31 Agustus 2011. Bagaimana dengan saya, yang pada saat itu hanya manut-manut saja ? Ya saya melakukan sholat Ied 2 kali, untuk menghargai pemahaman kedua keluarga besar. Sehingga selain mengulang sholat Iednya, saya pun mengulang pesta makan ketupat dan opor. Yang sepertinya sisa-sisa lemak opornya masih bersisa hingga tahun 2021.Tidak hanya berhenti pada polemik Sholat Ied. Begitupun dengan beberapa perbedaan lainnya entah dari bacaan Iftitah, doa’qunut pada sholat shubuh, Tahlillan 7 harian, Penyebutan nabi dengan kata Sayyidina Muhammad dan masih banyak hal lainnya.

 

Saya adalah seseorang yang  bisa dikatakan prinsipal dan moderat. Dalam arti, Ketika saya belajar dan memahami sebuah ajaran agama adalah tanpa paksaan dan mengalir begitu saja. Dari TK hingga kuliah saya adalah orang yang berpegang teguh untuk sekolah di Negeri. Entahlah saya tidak ingin ada pengaruh-pengaruh harokah agama didalamnya. Hingga pada saat Sekolah Dasar, kedua orang tua sepakat memasukkan saya ke Sekolah Dasar Islam Terpadu atau SDIT. Pada tahun 2005 akhir, SDIT menjadi sekolah yang sedang hype. Namun karir saya di SDIT hanya bertahan 4 tahun atau 8 semester. Alasannya sepele, dikarenakan saya sakit hati Ketika saya sedang menggambar. Memang menggambar adalah hobi saya sejak kecil. Ustadzah atau sebutan guru di SDIT meneriaki saya dengan aksen Sunda “Eh tong ngagambaran makluk hidup. Apal teu, ngke asup ka naraka. Siksaan naraka pedih tiada tara ” yang kalau diartikan “ Jangan menggambar makluk hidup. Nanti akan masuk kedalam neraka. Siksaan nerak itu pedih tiada tara”. Sepulang diteriaki, saya menangis 3 hari 2 malam dan memaksa ibu untuk memindahkan ke sekolah negeri. Walau saya menanggung resiko yaitu melepaskan status peserta Olimpiade KUARK ( IPA ) tingkat Provinsi, dimana saat itu saya mewakili sekolah dijenjang Provinsi.

 

Singkat  cerita saya pindah ke Negeri. Dimana disana saya merasa aman dan tentram. Dari SD kelas 5 hingga kuliah ( sebelum saya alih jenjang ke UMM ) saya masuk ke sekolah negeri yang bergengsi di Kota Bandung ditambah NEM saya yang selalu memuaskan. Namun ada satu hal yang saya sadari yaitu bahwa kuranganya pelajaran agama di sekolah negeri yang menjadikan pergaulan dan gaya hidup di Kota urban dan metropolitan ini menjadi-jadi. Saat SMA, saya beberapa kali menemukan circle yang bisa dibilang jauh dari agama. Hingga sempat khilaf, saya sempat bergaul dengan “mereka-mereka” yang mabuk dan makan babi adalah sesuatu yang Halal.

 

Namun belum sempat saya mencicipi kriuknya daging Babi, Allah SWT menyadarkan saya dengan memperlihatkan seorang lelaki, bermata sipit yang baru keluar dari Mushola selepas sholah dhuha. Berbulan-bulan saya mencari tahu lelaki tersebut hingga akhirnya saya menemukan fakta bahwa dia adalah anggota Rohis di SMA saya yang bernama SKEMA atau Satuan Keluarga Masjid. Dan besoknya saya memutuskan untuk masuk ekskul tersebut.

 

Memang benar kata pepatah “ Niat baik akan dipertemukan dengan Jalan-Nya, dan begitupun sebaliknya”. Allah SWT memang selalu tahu niat hamba-Nya, sehingga qadarallah selama 2 tahun saya menunggu di SKEMA, ternyata berakhir menjadi adik kaka Zone. Ada dua pilihan dalam hidup ini , kalau tidak bisa mengambil hatinya, ya ambil saja hikmahnya. Begitupun pada akhirnya saya mengambil hikmahnya saja. Banyak nilai kehidupan rohaninya yang bisa saya ambil untuk saya yang plin plan dalam memaknai pelajaran agama. Entah bagaimana cara dia menyampaikan materi kajian yang selalu membuat hati damai. Dia yang selalu memberikan banyak judul buku tentang bagaimana menjadi wanita Sholehah kepada Saya. Dari banyaknya perlakuan yang adem dan tidak tergesa-gesa, saya memutuskan untuk mencari tahu pemahaman apa yang menjadikan dia disebut “Calon suami sejuta umat”, hingga pada akhirnya saya tahu bahwa ia berharokah Muhammadiyah. Duh jadi flashback dikit.

 

Namun terlepas dari  kisah kasih disekolah, pemahaman saya mengenal Muhammadiyah bukan dari situ saja. Setelah lulus dari SMA, saya bertekad untuk melepaskan gelar “Ningrat Sunda” untuk merantau ke luar Tatar Pasundan. Sempat berdebat dengan Ayah bahwa ada pantangan atau pamali, Ketika wanita Sunda pergi melangkah keluar dari Tanah Pasundan, maka hati dan jiwanya akan dimiliki oleh laki-laki dari tanah Jawa.

 

Setelah memutuskan merantau, saya melanjutkan Studi D-III di sebuah Universitas favorit di balik megahnya Gunung Slamet dan Kota Mendoan yaitu Purwokerto. Pada awal semester saya bertemu dengan circle yang rajin mengikuti Kajian-kajian ulama, berbaju gamis dan berjilbab menutupi dada, belum lagi tas punggung coklat yang khas. Kajian-kajian nya cukup mengetuk hati saya yang keras ini. Ulama-ulamanya yang moderat tidak memaksa kita untuk mengikuti paham mereka. Apalagi diawal kuliah, saya mengalami culture shock level parah. Perbedaan Kota Bandung dan Purwokerto yang signifikan sekali, menjadikan saya menangis selama sebulan penuh. Ditambah di Purwokerto tidak ada McD, Starbucks, Mall keren layaknya Kota Bandung. Untungnya, Allah SWT mempertemukan dengan circle yang membawa perubahan lebih baik. Dan saya baru tahu di semester 4 bahwa kajian ulama yang biasa saya ikuti adalah berharokah Muhammadiyah.

 

Tidak cukup sampai di D-III, kedua orang tua memaksa sekaligus bersedia kembali menjadi donator tetap untuk menyekolahkan saya ke jenjang S1. Sempat bingung dalam menentukan sekolah lanjutan dikarenakan semua Universitas negeri tidak menerima program alih jenjang. Entah mengapa mungkin memang jalan saya, hingga akhirnya seorang kolega mengenalkan Universitas Muhammadiyah Malang. Hati senang namun tidak dengan hati keluarga besar. Ada sedikit cekcok yang terjadi namun untungnya tidak menimbulkan Perang Bubad 2.0. Namun, pada akhirnya keluarga besar mengalah dan memutuskan untuk menerima keputusan saya mengambil studi lanjutan di Universitas Muhammadiyah Malang.

 

Dan berakhirlah saya di Universitas Muhammadiyah Malang. Ditempat inilah saya dapat mengenal lebih tentang ke-Muhammadiyahan. Yang awalnya saya mengenal Muhammadiyah dari mata seorang lelaki dan berakhir saya studi di “kandang aslinya”. Lantas mengapa saya memilih Muhammadiyah ? Apakah Muhammadiyah adalah organisasi paling baik dibandingkan dengan organisasi sejenis lainnya. Bagi saya, dalam memilih sebuah harokah bukan didasarkan pada baik atau tidaknya organisasi tersebut. Saya yakin di Muhammadiyah sendiri masih banyak kekurangan, atau bahkan ada segelintir oknum yang kadang terlalu keras dalam berdakwah. Namun sepanjang perjalanan hidup saya, manhaj Muhammadiyah yang paling sesuai dengan hati Nurani.

 

Saya kurang menyukai hal apapun yang berbau politik praktis. Saya tahu, hidup adalah politik, bahkan symbiosis yang dilakukan manusia saja tidak lepas dari politik. Konsep perjuangan Muhammadiyah yang saya ketahui lebih mempertimbangkan amalnya kepada Pendidikan, sos-hum, keagamaan dan ekonomi. Walau Muhammadiyah tidak pyur anti politik, namun gerakannya berlawanan dengan paham “pihak yang memiliki kepentingan berbeda adalah lawan yang harus dikupas tuntas lalu ditindas”.

 

Seperti yang sudah saya singgung diawal, bahwa saya hidup di kota yang “cari aman wae lah”, sehingga saya tumbuh menjadi orang yang moderat. Menurut saya Muhammadiyah memiliki konsep beragama Islam yang moderat. Menurut Suharto (2014) mengatakan bahwa Muhammadiyah memiliki gagasan Pendidikan Islam moderat di Indonesia. Bilamana ada sebuah pertikaian, Muhammadiyah selalu mengambil jalan tengah. Selain itu, kehidupan saya yang tidak pernah pondok pesantren atau sekolah Al-Azhar, dimana saya mempelajari agama Islam dengan sendiri dan menghindari ajaran-ajaran ekstrem. Saya fikir bahwa konsep-konsep fiqih yang dikeluarkan Majlis Tarjih Muhammadiyah itu tidak ekstrem, dan nyaman, tidak menimbulkan tekanan pada individu yang menerimanya.

 

Akhir kata, sesuai dengan Judul Artikel saya “Ueberwechseln” dari Bahasa Jerman yang bermakna berpindah. Artikel ini menceritakan tentang hidup saya yang nomaden, dimana berpindah pindah dari satu tempat ke tempat lain yang didalamnya ada ikut andilnya Muhammadiyah. Saya paham bahwa Organisasi Muhammadiyah masih banyak kekurangan. Kalaupun ada oknum Muhammadiyah  yang perilakunya tidak patut ditiru dan memiliki pemikiran yang cenderung dekstruktif dan ekstrem, tidak menjadikan organisasi ini jelek seketika. Masih banyak jamaah-jamaah baik yang prinsip hidupnya bisa dijadikan teladan dan representative dari seorang mukmin.

 

Tulisan ini sifatnya sangat subjektif, namun tidak ada maksud untuk menonjolkan harokah Muhammadiyah lebih baik dari lainnya. Tulisan ini hanyalah sebuah isi pemikiran dari saya, yang saya harapkan tulisan ini bisa dijadikan pembanding atau penambahan khasanah perspektif tentang Muhammadiyah.  

                         

HIDUP HIDUPILAH MUHAMMADIYAH DAN JANGAN MENCARI KEHIDUPAN DI MUHAMMADIYAH “

 

-Muhammad Darwis -




Comments

Popular posts from this blog

Naskah Drama Bahasa Inggris A Little Thing Called Love

SMA Negeri 22 Bandung 2015 (Preview)

Tips-Tips Buat Kalian yang Ingin Pergi ke Bali